“Kalau perusahaan resmi banyak yang gulung tikar, pekerja akan mencari jalan pintas lewat jalur tidak resmi. Ini sangat berbahaya karena mereka tidak akan mendapat perlindungan hukum dan sosial,” ujar seorang pengamat ketenagakerjaan dari Malang, Rabu (3/9/2025).
Aturan baru yang tertuang dalam Permen PPMI Nomor 1 Tahun 2025 tidak hanya menaikkan modal, tetapi juga membagi zona penempatan PMI ke Asia Timur, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Konsekuensinya, perusahaan yang ingin menempatkan PMI di lebih dari satu kawasan harus menyiapkan deposito lebih besar.
Menurut pengamat, pendekatan ini terlalu kaku dan tidak melihat perbedaan kapasitas perusahaan. “Seharusnya ada mekanisme bertahap atau skema penyesuaian, bukan langsung menggandakan deposito,” tambahnya.
Selain ancaman meningkatnya migrasi ilegal, aturan ini juga dinilai bisa mengurangi kontribusi remitansi yang selama ini menjadi salah satu penopang perekonomian daerah. Kota-kota pengirim PMI seperti Malang, Blitar, dan Ponorogo berpotensi kehilangan sumber devisa jika penempatan resmi menurun drastis.
“Kalau perusahaan resmi bangkrut, otomatis penempatan turun. Dampaknya ke remitansi, keluarga pekerja, sampai roda ekonomi lokal bisa terganggu,” jelas pengamat tersebut.
Para pelaku usaha dan pengamat meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan keberlangsungan perusahaan kecil yang selama ini terbukti banyak membantu penempatan PMI.
“Menaikkan modal memang bisa meningkatkan jaminan perlindungan, tapi jangan sampai caranya justru menutup akses pekerja migran ke jalur resmi. Perlindungan harus berjalan beriringan dengan keberlangsungan usaha,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah atas kritik tersebut. Namun, pelaku usaha berharap adanya forum dialog sebelum regulasi ini benar-benar diberlakukan secara penuh.(Red)